Minggu, 29 April 2012

Makna “Unsur-Unsur Liturgi” GKPI.[1]


Pengantar
     Ada tiga keberadaan Gereja di dunia, yaitu: Gereja sebagai Organisasi Ibadah, Gereja sebagai Organisasi Kemasyarakatan dan Gereja sebagai Organisasi Badan Hukum. Gereja sebagai Organisasi Ibadah maksudnya bahwa seluruh kegiatannya adalah suatu ibadah yang meliputi penyembahan, pujian, doa-doa, pengucapan syukur, persembahan, dsb, yang tertata di dalam “unsur-unsur” liturgi Gereja.
     Unsur-unsur liturgi inilah yang akan dijelaskan melalui tulisan singkat ini. Dengan harapan kita akan  memiliki satu pemahaman dan satu perilaku beribadah yang benar dan berkenan selaku “Persekutuan Orang-Orang kudus”-nya Allah yang Mahakudus.  Ibadah bukan untuk menyenangkan hati manusia tetapi Allah, Ibadah bukan pula suatu hiburan tetapi pujian dan persembahan. Ibadah merupaakan persekutu Allah dalam Kristus dengan manusia atas dasar Iman. Dalam hal ini harus dipahami bahwa Ibadah merupakan pelayanan Allah pada manusia dan respon manusia pada pelayanan Allah tersebut, bukan sebaliknya manusia melayani Allah. Oleh karena itu : Allah-iman-Kristus merupakan tiga pokok penting dalam ibadah. Itulah sebabnya juga Ibadah sinominim dengan iman dan selalu berkaitan dengan Allah dalam Kristus.  Ibadah akhirnya dipahami sebagai pelayanan Allah kepada manusia dalam Firman yang diberitakan dan dalam sakramen (babtisan dan perjamuan kudus) serta karya iman, oleh anugerah (sola gratia) dan oleh iman (sola fide) yang berdasar pada ajaran alkitab (sola scriptura) sebagai sumber ajaran yang benar. Dalam hal ini, para pelayanan tahbisan (pendeta dll)  dikhususkan oleh Allah untuk bersama-sama dengan Allah melayani umat.
Dengan demikian setiap pelayan ibadah termasuk liturgis adalah gambaran dan utusan Allah dalam Ibadah yang harus dihargai dan bukan untuk dilecehkan, dan dia sendiripun harus bertindak, berperilaku sebagai bagian dari Allah yang melayani umat. Ini artinya ibadah berpusat pada kehadiran Allah, bukan pada imam/pendeta atau pelayan ibadah. Dengan demikian, dalam ibadah, muncullah beberapa unsur yang kemudian menjadi penting didalam liturgy sebagai wujud dari ibadah sebagai karya iman yakni: Doa, Pujian, dan jemaat yang bernyanyi. Selain itu sangat penting memahami posisi tubuh ketika kita beribadah, sebab gesture tubuh kita berbeda ketika beribadah dan ketika menjalani hidup sehari ini. Semua unsur tersebut  dimuat didalam liturgy GKPI dengan memperhatikan posisi tubuh umuat, sebagaimana akan dijelaskan dibawah ini :

 1. Makna “BERDIRI” dalam Ibadah
     Dalam ibadah Israel kuno -- bahkan berlanjut sampai sekarang dalam agama Yahudi dan “agama lain” -- sikap menyembah dan menghormati Tuhan Allah dinyatakan dengan ‘sujud sampai ke tanah’. Perilaku sujud sampai ke tanah, di mana kening (kepala) -- bagian tubuh paling terhormat-- harus benar-benar menyentuh tanah. Hal ini bermakna ‘merendahkan diri serendah-rendahnya’ yang merupakan ungkapan pengakuan “bahwa aku, manusia, adalah berasal dari debuh tanah, karena itu di hadapan Tuhan Allah Yang Mahakudus dan Mahaagung aku sama seperti tanah yang terkutuk”  (baca Kej.3:17, Kel.34:8, I Taw.16:29, Maz.95:6, Yer.7:2, Yes.27:13).  Jadi “sikap sujud sampai ke tanah” mengandung makna “menyembah dan menghormati Tuhan Allah dengan merendahkan diri serendah-rendahnya”.
     Perubahan perilaku ini terjadi seiring dengan perubahan penataan ruangan ibadah. Di dalam ruangan Bait Suci umat Israel tidak ada kursi-kursi/bangku tempat duduk umat. Ketika beribadah umat berdiri di pelataran Bait Suci terpisah dengan ruang kudus (tempat para imam) dan ruang mahakudus (tempat imam besar). Pada waktu menyembah Allah saat ibadah berlangsung, umat yang berdiri lalu sujud sampai ke tanah.  Sedangkan di dalam ruangan Gereja sekarang disediakan kursi-kursi/bangku tempat duduk jemaat beribadah. Adanya tempat duduk inilah yang membuat perilaku menyembah “sujud sampai ke tanah” tidak mungkin dilakukan saat beribadah, perilaku menyembah ini berubah menjadi “berdiri dan menundukkan kepala”.
     Meskipun telah terjadi perubahan perilaku menyembah, namun harus tetap dipahami dan disadari bahwa maknanya tidak boleh berubah, yaitu “menyembah dan menghormati Tuhan Allah dengan merendahkan diri serendah-rendahnya” yang kita tunjukkan dengan perilaku “berdiri dan menundukkan kepala”.
     Ada 5 (lima) perilaku “berdiri” dalam liturgi ibadah Minggu GKPI, yaitu ketika : 1. Saat Teduh. 2. Votum-Introitus-Doa. 3. Pengakuan Dosa. 4. Pengakuan Iman. 5. Doa persembahan sampai selesai ibadah. Sesuai dengan makna sujud maupun berdiri di atas, marilah dengan setulus-tulusnya, sesadar-sadarnya dan sepenuh hati “menyembah dan menghormati Tuhan Allah dengan merendahkan diri serendah-rendahnya” dalam perilaku/sikap “berdiri dan menundukkan kepala”.
     Jangan lagi “berdiri” saat beribadah dengan terpaksa dan anggap remeh, sebab sesungguhnya kita berdiri di hadapan Tuhan Allah Mahakudus yang benar-benar hadir dalam ibadah-ibadah kita. Dan proses berdiri serta duduk kembali ini diarahkan oleh liturgis selaku pemimpin ibadah (sampai pada pengakuan iman) dan oleh pengkhotbah ( pada doa persembahan sampai selesai ibadah), inilah yang kita kenal dengan panggilan/seruan menyembah dan menghormati Tuhan Allah. Dengan demikian hendaklah kita berdiri dan duduk setelah liturgis/penghotbah mengundang kita berdiri ataupun duduk kembali, supaya tercipta keteraturan, sebab ibadah itu harus berjalan dengan teratur dan sopan (1 Kor 14:40).      

2. Makna “SAAT TEDUH”
     Adalah saat Jemaat Tuhan memfokuskan dan menyerahkan seluruh keberadaannya  -- tubuh, jiwa -- masuk ke “Wilayah Kerajaan Allah yang Kudus”. Penyerahan secara pribadi melalui doa pribadi dan dilanjutkan penyerahan secara “persekutuan orang-orang kudus” melalui nyanyian bersama. Di dalam saat-saat penyerahan diri seutuhnya ini harus dipahami dan disadari bahwa kita sedang “berdiri di hadirat Allah yang Mahakudus”. Karena itu perilaku kita harus diam/tenang, penuh penyerahan dan penuh penghormatan menyambut “kehadiran” Allah di dalam ibadah. Itu berarti kita memfokuskan perhatian, pikiran dan perasaan hanya pada “kebenaran, damai sejahtera dan sukacita” Tuhan Allah saja, tidak melayang atau terbagi memperhatikan, memikirkan dan merasakan hal-hal lain sehingga kemanusiaan kita benar-benar “diperbaharui” selama ibadah berlangsung   (baca Kolose 3:2,10 dan Roma 14:17). Lebih jauh makna saat teduh ini termuat dalam nyanyian Kidung Jemaat No. 17.   

3.   Makna  Nyanyian Pujian.
Ibadah selalu diawali dengan Nyanyian Pujian. Nyanyian pujian adalah suatu ungkapan pengagungan, penyembahan, pengudusan, pengharapan, pengakuan, penyesalan, penyerahan diri, doa serta keyakinan kepada Tuhan. “Pujilah Allah kita, hai kamu semua hambaNya, kamu yang takut akan Dia, baik kecil maupun besar…” –baca Wahyu 19:5-7—“Pujilah Tuhan hai jiwaku, pujilah namaNya yang kudus hai segenap batinku“ –Mazmur 103 : 1— kedua ayat inilah antara lain yang menjiwai setiap umat dalam menyanyikan pujian kepada Tuhan. Melalui nyanyian pujian, kita menyatakan keyakinan bahwa Tuhan Allah hadir untuk memimpin ibadah itu seperti termuat jelas dalam Kidung Jemaat No. 18 “Allah Hadir Bagi Kita”. Dalam setiap menyanyikan kidung pujian kepada Tuhan, haruslah dari dalam hati dan jiwa yang penuh sukacita  dan dalam pemujian yang benar baik dan penuh hormat. Pemandu kidung dan Pemusik Gereja sangat diharapkan dapat memandu sidang jemaat agar selalu bernyanyi dengan benar dan baik dan penuh dengan nyala emosi penyembahan dan pemujian kepada Tuhan Yesus.
       Nyanyian-nyanyian dalam tata ibadah merupakan respon atau jawaban jemaat yang berisi ucapan syukur, permohonan, pengharapan serta pengakuan, dsb  -- yang dinyanyikan -- terhadap Tuhan Allah yang berbicara kepada kita melalui pelayan liturgi dalam urutan-urutan tata ibadah.
            Selain itu makna teologis music liturgy dan nyanyian pujian dalam ibadah/kebaktian, adalah hubungan antara nyanyian dan pemberitaan firman. Untuk itu text nyanyian itu menjadi unsur yang sangat penting. Hal yang prinsip dalam pemberitaan Firman Allah melalui teks nyanyian terlihat dalam tiga hal: Pertama, isi text itu terutama merupakan garis vertical yang dari atas ke bawah. Umat membutuhkan Firman yang memberi hidup itu, dan itu datang dari pihak Allah. Kedua,  serentak dengan itu, nyanyian itu juga merupakan garis vertical dari bawah ke atas, yaitu ucapan syukur serta pujian umat kepada Allah. Ketiga, jemaat melayani sesamanya melalui nyanyian itu.

           
2.    Makna Votum, Introitus dan Doa Introitus.

2.1. Votum, berarti “dasar” atau “dalam nama”.
Yang memateraikan/menahbiskan setiap ibadah ialah jika ibadah itu dimulai di dalam nama atau demi nama Allah Tritunggal : “Demi nama Allah Bapa, dan Nama AnakNya Tuhan Yesus Kristus, dan Nama Roh Kudus, khalik langit dan bumi, Amin!” Ini adalah suatu pernyataan atau ungkapan iman Kristen yang mendasari ibadah atau sebagai pernyataan akan dasar ibadah. Karena itu, hal ini harus dinyatakan seluruh    peserta ibadah dengan penuh khidmad, sekalipun yang menyampaikan adalah Liturgos atau pemimpin ibadah. Pada saat ini liturgos adalah “alat atau mulut” yang dipakai Allah menyapah umatNya dengan “menaruh perkataan-perkataanNya” di mulut sang liturgos tsb. (bnd. Yeremia 1:9).

 2.2. Introitus, yang berarti jalan masuk.
Introitus adalah jalan masuk bagi jemaat untuk memasuki ibadah yang telah ditahbiskankan dalam nama Allah Tritunggal sebagai dasar konstruksi ibadah yang telah dinyatakan melalui Votum. Karena Introitus adalah jalan masuk ke dalam satu persekutuan kudus dengan Tuhan Yesus, maka yang membuka jalan hanyalah Dia, yang kepadaNya kita hendak bersekutu. Itulah sebabnya, Introitus selalu diambil atau didasarkan pada Firman Tuhan. Karena sesungguhnya, Tuhan Yesus sendiri-lah yang membuka jalan masuk bagi jemaatNya dalam setiap ibadah.  
Dalam sejarah terbentuknya tahun gerejawi, terlihatlah bahwa ayat-ayat introitus ini biasanya diambil dari bahasa latin, dan untuk memudahkan mengingatnya, maka setiap kata pertama dari ayat itu, dibuat menjadi nama dari hari minggu itu. Contoh:
·         Minggu Invocavit: mengikuti kata pertama dalam bahasa latin dari Mazmur 19:5
·         Minggu reminiscere: mengikuti kata pertama dalam bahasa latin dari Mazmur 25:6, 26
·         Minggu Okuli: mengikuti kata pertama dalam bahasa latin dari Mazmur 25: 16
·         MInggu Letare: mengikuti kata pertama dalam bahasa latin dari Mazmur 66:10
·         Minggu Kantate : mengikuti kata pertama dalam bahasa latin dari Mazmur  98: 1a
·         Dsts

Sebagai rasa sukacita jemaat atas kemurahan Tuhan yang telah memenerimanya masuk ke dalam persekutuan, maka setelah pembacaan Introitus, jemaat menyambut dengan menyanyikan “Haleluya, Haleluya, Haleluya”. (bahasa Ibrani, berarti : Pujilah Tuhan). Nyanyian haleluya ini menumbuhkan sikap memuji Tuhan dari segenap hati, yang tidak akan pernah berkesudahan.

2.3.  Doa Introitus.
Doa Introitus, pada hakikatnya adalah doa pembukaan untuk memasuki ibadah. Isi doa juga lazimnya selaras dengan Introitus, dengan maksud untuk lebih memberi makna “berhadapan dengan Tuhan” kepada setiap jemaat  yang hadir sebagai “orang-orang kudus” dalam persekutuan ibadah itu.
Dengan selesainya doa introitus ini berarti jemaat yang hadir beribadah sudah “benar-benar” memasuki Kerajaan Allah dan “berhadapan” dengan Allah yang diyakini “benar-benar hadir” dalam ibadah.
Berhadapan dengan Allah bukan secara fisik saja, tetapi terutama secara roh. Roh kitalah -- yang terus menerus diperbaharui agar semakin kudus – berhadapan dengan Allah Roh Kudus (bnd. Kolose 3:10).
Oleh karena itu ketika liturgi sampai pada Votum,Introitus dan Doa, sepatutnya semua peserta ibadah /kebaktian berada pada sikap “diam dengan hormat” menundukkan diri seutuhnya (tubuh serta jiwa) di hadirat Allah. Yang “diam” adalah tubuh, yang “hormat” adalah jiwa. Tidak ada yang sedang berjalan mencari tempat duduk, berbisik-bisik atau hal-hal lain; seperti mengantuk !
Selanjutnya Liturgis yang membacakan doa inipun harus memperhatikan pembacaan doa ini secara tepat. Karena doa ini adalah doa bersama, maka hendaklah Listurgist membacanya dengan seksama, dengan tempo yang tepat, jangan terlalu cepat sehingga sulit dihayati oleh jemaat atau terlampau lambat. Pembacaan doa ini ini tidak seperti membacakan laporan atau pengumuman. Naik turunnya suara/penekanan pada perkataan tertetnu perlu dipahami dengan baik, supaya doa itu tidak dibaca datar atau terus-menerus dengan suara yang lembut atau keras, dan jangan pula dalam membaca doa itu suaranya tidak suara bersandiawara atau yang dibuat-buat tetapi hendaklah suara liturgist betul-betul berasal dari penghayatan yang sungguh-sungguh.

1. Pengertian EPISTEL
“Marilah kita  mendengar (membaca) Epistel sebagai pendahuluan khotbah yang tertulis dalam …………” adalah pengantar pembacaan Epistel yang selalu kita dengar dari liturgis dalam ibadah. Kemudian pada akhir pembacaan epistel kita mendengar ucapan liturgis: “Berbahagialah setiap orang yang mendengar Firman Allah, yang menghayati serta mengamalkannya”.  Benarkah bahwa Epistel memang Firman Tuhan yang hanya dibacakan merupakan “pendahuluan” khotbah? Bagaimana konteks peribadahan sehingga dipakai kata “mendengar” atau terkadang kata “membaca” untuk mengajak jemaat ber-epistel? Apa sesungguhnya yang tersirat di benak kita ketika berkata “Amin” menjawab ucapan  “Berbahagialah….” Itu?

1.1. Epistel
Epistel, berasal dari bahasa Yunani; “Epistello” (surat perintah) dan “ epistole” ( surat). Di Gereja GKPI yang dipakai adalah epistole atau surat.  Sebuah surat pada dasarnya adalah dibaca dan didengar. Itulah sebabnya, epistel adalah pembacaan Firman Tuhan  untuk didengarkan. Tujuan epistel (Firman Tuhan yang dibacakan) adalah untuk membimbing jemaat memahami khotbah yang hendak disampaikan pada  ibadah.  Gereja pertama membaca Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru untuk menunjukkan kesatuan kedua kitab itu kepada jemaat. Kebiasaan ini sampai sekarang masih dipertahankan oleh  gereja-gereja Protestan di banyak tempat, termasuk GKPI.

1.2. Mendengar (dan Membaca)
Pembacaan Firman Tuhan dalam Epistel, selalu diakhiri oleh Liturgis dengan; “Berbahagialah setiap orang yang mendengar Firman Allah, yang menghayati serta mengamalkannya”…(sesuai agenda GKPI).
Agenda GKPI adalah warisan dari Zending  +/- 150 tahun yang lalu. Pada saat Agenda itu dibuat, Alkitab masih dimiliki oleh para pendeta, guru-guru zending saja. Di samping itu masih terhitung dengan  sebelah jari jemaat yang dapat membaca. Oleh karena itu Epistel masih dibacakan secara sepihak oleh liturgis dan jemaat hanya mendengar. Itu sebabnya di awal pembacaan epistel jemaat diajak dengan mengatakan: “Marilah kita  mendengar Epistel sebagai pendahuluan khotbah yang tertulis dalam …”  dan juga akhir pembacaan Epistel dipakai kata “Berbahagialah setiap orang yang mendengar Firman Allah….”.  
Sejalan dengan perkembamgan pendidikan, terutama baca-tulis, maka hampir semua warga jemaat telah dapat membaca dan menulis. Hal ini mendorong jemaat untuk memiliki dan membaca sendiri Alkitab. Keinginan ini disambut positip oleh pemimpin gereja, maka jemaat pun diikutkan dalam membaca Epistel, yang kemudiaan dikenal dengan sebutan RESPONSORIA atau membaca secara bergantian antara liturgis dengan warga jemaat. Oleh karena itu, tidak salah jika sekarang ini di awal  pembacaan epistel ditambahkan kata “membaca” sehingga menjadi  “Marilah kita  mendengar dan membaca  Epistel sebagai pendahuluan khotbah yang tertulis dalam …………” dan juga di akhir pembacaan epistel menjadi “Berbahagialah setiap orang yang mendengar dan membaca Firman Allah….”. Karena jemaat yang hadir beribadah ada yang mendengar (tidak membawa Alkitab) dan ada yang ikut membaca (yang bawa Alkitab).

1.3. Makna “AMIN”
Ucapan “Berbahagialah setiap orang yang mendengar dan membaca Firman Allah, yang menghayati serta mengamalkannya” disambut seluruh warga jemaat dengan berkata: “A M I N! “.  Kata “amin” berasal dari bahasa Ibrani yang berarti: “Pasti, sungguh, benar”.  Mengaminkan,  berarti  “memastikan, sungguh-sungguh, meng – iya-kan kebenaran” epistel yang telah didengar dan dibaca. 
Jawaban “Amin” oleh umat, adalah mengikuti tradisi ibadah Israel seperti ketika imam Ezra membacakan beberapa bagian dari kitab Taurat. Setelah imam Ezra, ahli kitab itu, selesai membacakan bagian kitab Taurat, lalu ia memuji TUHAN, Allah yang mahabesar, dan semua jemaah: laki-laki dan perempuan dan semua orang yang dapat mendengar dan mengerti, menyambut dengan: “Amin, amin!” 
 (baca Nehemia 8: 3 - 7).
Itulah sebabnya pemimpin ibadah (Liturgis), selalu mengatur intonasi dan frekuensi suara  sedemikian,  sehingga warga Jemaat, dengan penuh khidmat dan secara serentak dapat menyatakan sebuah kepastian, kesungguhan tentang kebenaran Firman Tuhan yang berlaku sebagai kekuatan hidupnya dengan berkata 
“A M I N “. 

PENGAKUAN DOSA DAN JANJI TUHAN


Dalam hal Jemaat mendengar dan menerima serta untuk mengamalkan Firman Tuhan yang baru diaminkan, maka Jemaat merasa disadarkan akan keberdosaanya. Jika kita menyadari secara benar bahwa kemanusiaan kita adalah serakah, munafik dan suka menipu, tetapi apabila hal ini menyatakan itu kepada hadirin saat Ibadah, sudah barang tentu hadirin langsung akan merasa tersinggung dan marah-marah, kurang merasa senang dengan tuduhan itu. Karena itu maka GKPI melalui keputusan Sinode Am-nya tahun 1989 memberi kesempatan kepada setiap warga berdoa dalam hati dengan maksud agar pada kesempatan itulah Pribadi lepas Pribadi dengan Jujur mengaku dan berdoa memohon pengampunan Dosa yang dilakukannya. Liturgis tentu saja tidak mengetahui dosa setiap jemaat, karena itu jemaatlah yang harus mengakuinya kepada Tuhan seperti ada tertulis dalam Mazmur 32:5 “Dosaku kuberitahukan kepadaMu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata:”Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku”.

DOA PENGAMPUNAN DOSA
Anggota Jemaat menyadari dan mengenal siapa dia sebenarnya di hadapan Tuhan, sebagai orang berdosa. Maka dengan adanya hal seperti itu, selayaknyalah meminta pengampunan dosa dari Tuhan. Pengertian berdosa sudah begitu lumrah dan kata dosa dipakai secara enteng sekali. Kalimat “ Tuhan ampunilah dosa kami”, kita ucapkan dengan sangat ringan dan datar, dan dosa dipersempit artinya menjadi kesalahan atau pelanggaran.

Hadirin atau Jemaat tidak akan marah dan tidak ada merasa keberatan jika pemimpin Liturgis berkata kita adalah orang berdosa dalam PENGAKUAN sesungguhnya. Dosa bukanlah berbentuk pelanggaran atau kesalahan, mari kita baca pengakuan Petrus dalam Lukas 5 :1-11. apa yang mengakibatkan Petrus sehingga ia berseru dalam ayat 8 itu: “Tuhan pergilah daripadaku karena aku ini orang berdosa! Jelas hal itu ia katakan bukan ketika ia membuat kesalahan atau pelanggaran, melainkan ketika ia merasa takjub(ay.9) atas kebaikan dan keagungan Tuhan. Petrus menyadari kualitas dirinya begitu berbeda dari Tuhan, sehingga ia merasa tidak layak berada di hadapan Tuhan.

Bagi orang yang sudah menerima FirmanNya akan menyadari bahwa dia sudah terjerat dan ketahuan di hadapan Tuhan akan keberadaannya, maka dengan sendirinya akan memohon dengan kesungguhan hati seraya rendah hati untuk diampuni oleh Tuhan.
Pada Gereja purba dan hingga sampai saat ini adalah sama, sepikul seperasaan dan sehati berseru : Kyrie Eleison, Christy Eleison. Kyrie Eleison yang berasal dari bahasa Yunani dipergunakan dari sejak Gereja mula-mula (Jemaat Rasul-rasul) hingga saat ini. Kasihanilah kami ya Tuhan, atau Tuhan’ Kasihanilah kami.
Melalui ungkapan itu bahwa sebenarnya hubungan manusia itu sudah terputus, tidak tersambung lagi sebagaimana layaknya seperti lampu yang mati karena sakelarnya belum tersambung, maka perlu ada pertolongan untuk menyambung kembali sehingga boleh menyala. Dan hanya Dia yang dapat melakukan dan mengerjakan pekerjaan itu (yang mengetahui). Karena itu sebelum meneruskan ibadah, kita berdoa mengakui ketidaklayakan kita dan memohon agar hubungan vertikal serta horizontal yang rusak itu dipulihkan kembali. Tuhan menanggapi pengakuan dan permohonan tadi karena hanya Dia lah yang benar dan dapat mengampuni/menghapuskan dosa : maka Tuhan menjawabnya serta memberikan anugerah yang rumusannya berupa “janji” dibarengi penghiburan bukan memberikan pengampunan tetapi memberitakan pengampunan, bukan dalam bentuk harapan, melainkan dalam bentuk kenyataan yang sudah terlaksana oleh Allah atau dalam Kristus. Dan oleh pemberitaan pengampunan itu, maka Jemaat dipenuhi oleh sukacita, lalu terdengarlah pujian atau keagungan bagi Tuhan yang diucapkan oleh Liturgis : “Segala kemuliaan di tempat yang maha tinggi” dan hadirin dengan spontanitas mengaminkannya (sikap Jemaat dalam hal tersebut adalah berdiri.

Pengertian Hukum Tuhan atau Petunjuk Hidup Baru

Setelah kita mengaku segala dosa dan kejahatan kita dan memohon pengampunan kepada Allah maka Dia-pun memberi pengampunan dan  keselamatan umatNya. Keselamatan itu tidak otomatis akan kita miliki selamanya, bisa saja hilang oleh pelanggaran-pelanggaran kita kemudian. Karena itu  Keselamatan itu harus dijaga dan dipelihara serta “dikerjakan” selagi kita masih hidup di dunia (baca: Filipi 2:12). Tuhan itu Mahabaik dan Mahakasih. Dia tidak membiarkan umatNya berjalan sendiri dalam menjaga, memelihara dan mengerjakan keselamatan itu. Dengan penuh kasih dan kesetiaan Dia memberi HUKUM TUHAN atau pun FIRMANNYA sebagai PETUNJUK HIDUP BARU kepada kita. Sesuai Agenda GKPI, Petunjuk Hidup Baru ini, diambil dari kesepuluh Hukum Tuhan dan penjelasannya sampai pada kesimpulannya atau dari  Firman Tuhan sebagai pengganti Hukum TUHAN.

Petunjuk
Adalah sesuatu yang mengarahkan setiap orang untuk berjalan dan melakukan  segala sesuatu di dalam kehidupan sehingga dia tidak terjatuh atau tersesat. Dalam satu percakapan Thomas dengan Tuhan Yesus, Thomas bertanya; “Tuhan, kami tidak tahu kemana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ? Yesus menjawab; Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.(  Yoh. 14: 5-6). Barang siapa mengaku dan menerima bahwa hanya Yesus-lah jalan, kebenaran dan hidup, menjadikan Yesus sebagai “batu penjuru” yang mengarahkan hidupnya;“Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepadaNya tidak akan dipermalukan” (1 Ptrs 2: 6).

Dengan demikian, “petunjuk” hidup baru  yaitu Firman /Hukum Tuhan  adalah “batu penjuru” sebagai “KOMPAS” yang mengarahkan jalan kehidupan kita. Benarlah bahwa “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”(Mazmur 119:105) yang membuat kita tidak lagi hanyut dalam kehidupan yang terikat oleh kehendak dunia (kronos), melainkan melangkah pasti dengan petunjuk FirmanNya melalui persekutuan denganNya dalam kehidupan kairos” yaitu hidup yang BENAR dan KUDUS meski masih hidup di dunia yang bengkok hati  (baca: Yos 1: 7 – 8).
 
Hidup Baru
Adalah kehidupan yang telah “diperbaharui” oleh TUHAN, dengan mengampuni dosa kita. Melalui kematian dan kebangkitan AnakNya Tuhan Yesus Kristus, kita telah diubahkan dari MANUSIA LAMA  yang penuh kegelapan menjadi MANUSIA BARU yang hidup dalam terang Allah.”Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5 : 17).

Kehidupan lama kita, adalah kehidupan yang penuh noda kejahatan, kemaksiatan, kesombongan, keserakahan, kedengkian, dendam, perzinahan, percabulan, dursila, pertengkaran, perseteruan, ketegaran tengkuk dan lain-lain, yang membelenggu kita dalam kegelapannya (baca: Kolose 3:5-8). Tetapi karena begitu besar kasih Allah kepada kita, maka Dia mengaruniakan AnakNya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (baca Yoh 3:16). Hanya karena kasih karunia Allah, maka hidup kita menjadi baru (ekleisia).

Dalam kehidupan kita sebagai jemaat TUHAN; “persekutuan orang-orang kudus”, kekudusan itu belum sempurna. Karena itu selama kita hidup di dunia sesungguhnya berada dalam “proses : terus-menerus diperbahurui” agar sifat-sifat MANUSIA LAMA semakin terbuang berganti dengan sifat-sifat MANUSIA BARU (baca: Kolose 3: 5-10).

Setiap ibadah Minggu, kita menerima HUKUM TUHAN atau FIRMAN TUHAN sebagai PETUNJUK  HIDUP BARU, berarti dengan sadar kita MAU membuang sifat-sifat MANUSIA LAMA dan dengan penuh sadar pula MENGENAKAN sifat-sifat MANUSIA BARU. Jika kita benar-benar hidup sesuai petunjuk hidup baru yang diberikan Tuhan, maka dari Minggu ke Minggu, kehidupan kita harus lebih BENAR dan KUDUS. Artinya, harus ada perubahan; semakin beriman dan kudus!!   Inilah buktinya kita sedang mengalami “PROSES: TERUS-MENERUS DIPERBAHARUI”.

Proses diperbaharui ini hanya dan harus berlangsung dengan PERTOLONGAN ALLAH ROH KUDUS yang memberi KEKUATAN untuk menjalaninya. Kerena itu dalam setiap pembacaaan Petunjuk Hidup Baru,  kita selalu diajak oleh liturgis untuk memohon kekuatan kepada Tuhan: “Ya Allah, Bapa kami, berilah kami KEKUATAN untuk melakukan yang sesuai dengan Hukum-hukumMu / FirmanMu, amin”.
Makna Pengakuan Iman
Pengakuan Iman  atau  “Credo”  adalah pernyataan dan ikrar setiap orang percaya tentang kebenaran kepercayaan yang diimaninya. Masing-masing agama mempunyai pengakuan iman yang menyatakan siapa, dan bagaimana Tuhan yang dipercaya dan disembahnya. Gereja di sepanjang sejarah telah merumuskan beberapa pengakuan iman dan awalnya pengakuan iman Gereja singkat saja; “ Yesus Kristus adalah Kirye/Tuhan”, mirip dengan Thomas yang sangat  sulit untuk percaya, tapi menjadi orang pertama menyatakan kepercayaannya kepada Yesus dengan mengatakan; ”Ya, Tuhanku dan Allahku” (Baca Yoh. 20: 24-29).

Allah adalah Kasih. Untuk mewujudkan  kasihNya, IA menciptakan Dunia dan Manusia. Manusia tidak taat dan berdosa, maka untuk  menyelamatkan manusia berdosa, Ia menjadi Manusia (Manusia Allah/Theantropos) yaitu Yesus Kristus. Setelah keselamatan disampaikan maka Yesus meninggalkan kita dan kemudian hadir dalam wujud Roh Kudus untuk menolong orang percaya memelihara dan mengerjakan keselamatan itu. Inilah inti dari PENGAKUAN IMAN RASULI yang terbagi dalam tiga bagian besar dan memuat 12 pengakuan.

GKPI mengikuti rumusan “Pengakuan Iman Rasuli” seperti tertera dalam “Katekismus Martin Luther”.
Pertama, mengakui Allah sebagai Bapa  yang menciptakan alam semesta serta segala isinya dan yang memelihara semuanya itu. Tuhan Allah Bapa adalah Tuhan yang ‘imanent”  yaitu Tuhan yang tetap tinggal di dalam kita, tapi Ia juga adalah Tuhan yang “transenden” yaitu yang melampaui (beyond) alam dan melampaui segala sesuatu.

Kedua, mengakui Allah sebagai Anak (Yesus Kristus) adalah Firman yang menjadi Manusia (Theantropos) datang ke dunia dan diam di antara kita (baca: Yoh. 1:14), yang telah mengorbankan diriNya dan menderita, mengalahkan maut untuk mendatangkan keselamatan jiwa kita.

Ketiga, mengakui Allah sebagai Roh Kudus adalah Tuhan yang diam di dalam kita (Gereja/orang percaya). Ia yang menuntun hidup, termasuk hati, pikiran dan kehendakkita dan yang menjelaskan rencana Allah bagi kita, yakni keselamatan dan hidup yang kekal. Allah Roh Kudus, adalah “Penolong” bagi kita (baca Yoh. 14:16). Ia juga adalah “Penghibur” bagi kita (baca Yoh. 14: 26), sebagai “Guru” (baca Lukas 12:11-12) dan sebagai “Pemimpin” (baca Yoh. 16: 13).

Makna dari pengakuan iman ini, adalah untuk “meng-iya-kan dan meng-amin-kan dengan iman” (iman yang melampaui akal, ilmuh pengetahuan dan logika) apa yang dikerjakanNya pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang didasarkan pada Alkitab yang berbicara tentang Allah : Bapa, Yesus Kristus  dan Roh Kudus.

Pengakuan iman, di samping “ikrar” dari setiap orang percaya kepada Allah Tritunggal, juga merupakan intisari dari pengajaran Alkitab dan pengajaran Gereja. Dengan pengakuan iman terhadap Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus, bukan berarti Allah itu ada tiga oknum. Tuhan itu tetap “esa” atau satu  (baca Ul.6:4; Markus 12: 29 & 32; 1 Tim. 1: 17; 1 Tim. 2: 5).

Itulah rahasia Allah yang terdalam dalam kehidupan kita orang-orang percaya. Karena demikian dalam dan tingginya rahasia Allah dalam menyatakan diriNya kepada kita, dan tidak seorang pun manusia dapat memahami secara sempurna, (baca Roma 11:33-35) itulah sebabnya dalam ibadah setiap Minggu selalu diajak untuk menyatakan atau berikrar tentang iman percaya (credo) dengan berdiri sambil menundukkan kepala di hadirat Allah Mahakudus.

Pengertian EPIKLESE, EVANGELIUM dan HOMILIA (KHOTBAH)
Ibadah jemaat terdiri dari Pemberitaan Firman dan pelayanan Sakramen. Keduanya memimpin kepada satu percaya, satu kepastian dan menjadikan kita milik dari satu TUHAN. Pemberitaan Firman berjalan menuju ke Pelayanan Sakramen; Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Pemberitaan Firman berisi rangkaian Doa (epiklese), Pembacaan Firman (Evangelium) dan Khotbah (Pemberitaan Firman/Homilia).

EPIKLESE
Adalah doa sebelum pembacaan Firman Tuhan yang memohon kepada Roh Kudus untuk membuka pikiran kita agar mengerti kitab Suci. Firman Allah yang dibaca atau didengar hanya dapat dimengerti dengan suatu ‘mujizat’ yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam hati pengkhotbah maupun pendengar, sehingga dengan perantaraan ‘kata-kata manusia’ (homilia/Khotbah) dapat kita dengar suara Tuhan yang berfirman kepada kita. Tanpa pertolongan Roh Kudus, Alkitab adalah suatu buku yang tertutup bagi kita dan Firman Allah adalah huruf-huruf ‘yang mati’ ( baca, Lukas 24 : 44 – 45). 

EVANGELIUM
Kata Evangelium berasal dari bahasa Yunani ‘euanggelion’ berarti ‘Kabar baik’, ‘Injil’.
Evangelium, adalah pemberitaan Kabar Baik (Kabar Keselamatan) yaitu Injil. Pada hakikatnya, dalam kehidupan Gereja, setiap Firman yang dikhotbahkan harus berpusat kepada Tuhan Yesus Kristus (Yesus dalam nubuatan, Yesus yang telah menjadi Manusia: lahir, mati, bangkit, naik ke Sorga dan Yesus yang akan datang untuk kedua kalinya).

Alkitab mencatat, bahwa Injil pertama atau “Protoevangelium”  dimulai dalam Kejadian 3: 15 “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya, keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya”. Siapakah “keturunan perempuan” itu? Dialah, Yesus Kristus yang lahir dari perawan Maria (original birth). Dengan mati di kayu salib, Ia meremukkan kepala ular, si iblis. Dosa, maut, dan iblis semuanya telah dikalahkanNya  di atas kayu salib. Dalam Alkitab, tak seorang pun, kecuali Yesus yang disebut sebagai  “keturunan perempuan”.

Setelah Epiklese, maka Evangelium (Kabar Baik, Injil) dibacakan oleh pengkhotbah sebagai nas untuk Pemberitaan Firman (Homilia/khotbah).

HOMILIA (KHOTBAH)
Martin Luther menegaskan, “Bilamana bagian Alkitab yang dibacakan itu tidak ditafsirkan, bagian itu tidak ada gunanya bagi jemaat”.  Firman Allah yang ditafsirkan inilah yang disebut Homilia (khotbah). Memberitakan Firman adalah mengumumkan keselamatan dan hukuman, yang berlangsung di sini dan kini dalam menuntun umatNya menjalani kehidupan yang kudus untuk menerima Mahkota Kehidupan Kekal di dalam KERAJAAN SORGA.

Pada waktu pemberitaan Firman kedengaran suatu bunyi yang nyaring di dalam hati anggota-anggota jemaat. Allah hadir, Allah ada di tengah-tengah kita. Saat ini berlangsung suatu Teofani (pengungkapan) rohani yang penuh berkat di dalam kemuliaanNya. Di sini berlangsung apa yang tidak berlangsung di tempat lain: Malaikat Tuhan turun, seorang utusan berdiri di tengah-tengah umat diterangi oleh terang Sorgawi, dan Ia membuat mujizat di dalam hti orang-orang yang putus asa, yaitu bahwa mereka disebut anak-anak Allah pewaris Kerajaan Sorga.

Maka Gereja yang hidup adalah Gereja yang memberitakan Firman Tuhan untuk membangun dirinya; bertumbuh dan bekerja memuliakan Allah di dalam jemaat dan di dalam dunia, sehingga jemaat dipersiapkan mengambil bagian dalam Sakramen: Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.     

                                               
Doa Syafaat, Nas Persembahan, Persembahan, Doa Persembahan & Nyanyian Persembahan
Doa Syafaat
Syafaat berasal dari bahasa Ibrani Syofet berarti pengantara. Doa syafaat berarti doa umum oleh pengantara yang mendoakan missi gereja, warga jemaat, pemerintah dan orang-orang yang belum percaya (baca, I Timotius 2:1-2). Setiap orang percaya dapat menjadi pengantara doa  yang menaikkan doa syafaat sesuai pokok-pokok doa yang ditentukan.  Warga jemaat yang hadir harus sepakat mengaminkan di dalam hati masing-masing  terhadap setiap pokok-pokok doa yang dinaikkan pengantara doa.
Nas Persembahan
Menurut Agenda GKPI setiap kali memberi persembahan, selalu didahului pembacaan firman Tuhan  sebagai “nas persembahan” yang berbicara tentang persembahan. Pembacaan firman Tuhan sebelum persembahan, bertujuan agar :
·     Supaya jemaat memberi persembahan “dengan” benar, sebagaimana dalam II Kor. 9: 7 “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena terpaksa, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita”
·     Supaya jemaat mempersembahkan yang benar  kepada TUHAN, kitab Maleaki 3: 3 “Ia akan duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak; dan Ia mentahirkan orang Lewi, menyucikan mereka seperti emas dan seperti perak, supaya mereka menjadi orang-orang yang mempersembahkan korban yang benar kepada TUHAN”.

Persembahan

Pengajaran Alkitab mengenai “memberi” merupakan penyataan Allah sendiri. Karena Tuhan Allah telah “memberi” AnakNya yang Tunggal menjadi “korban persembahan penebus dosa” semua umat manusia. Oleh karena itu persembahan jemaat merupakan suatu kurban berdasarkan atas kurban Kristus.    
Alkitab mencatat, Kain dan Habel adalah manusia pertama kali memberi persembahan kepada Allah. Bahwa Tuhan Allah “menerima” persembahan Habel, dan “menolak” persembahan Kain (baca Kej. 4: 1-5) adalah peringatan bagi kita bahwa Allah tidak sembarangan menerimana persembahan. Dia Hanya menerima persembahan yang terbaik dan dipersembahkan dengan hati yang tulus ikhlas sebagai ungkapan  rasa syukur dan  terimakasih kepada Tuhan Yesus sebagai sumber segala berkat (band. K.J. 289:8) Sebab siapakah kita sehingga dapat memberi kepada Tuhan? Persembahan yang kita berikan haruslah persembahan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya (seperti Habel), tidak secara asal-asalan saja (seperti Kain).
Persembahan pada mulanya berupa innatura (hasil bumi dan ternak). Sejak abad ke-11 diganti dengan persembahan uang. Persembahan ini dipakai untuk biaya penyelenggaraan ibadah, kesejahteraan para pelayan penuh dan diakonia; pemeliharaan janda-janda miskin, yatim-piatu (baca , Imamat 14: 28-29).

Doa Persembahan
Tujuan doa persembahan ini adalah untuk menyampaikan persembahan kita kepada Tuhan dan supaya Dia menguduskannya. Penyerahan di dalam doa adalah ungkapan ketulusan-ikhlasan hati yang memberi persembahan.  Di samping itu kita memohon agar Tuhan senantiasa membuka hati kita dengan Roh KudusNya, agar kita senantiasa mengucapkan “terimakasih” kepada Tuhan Mahamemberi.

 
Nyanyian Persembahan
Nyanyian persembahan, merupakan kurban syukur, yaitu ucapan bibir yang memuliakan namaNya yang melengkapi persembahan materi (baca, Ibrani 13 : 15-16). Kurban syukur ucapan bibir ini bermakna bahwa kita mempersembahkan jiwa, pikiran dan waktu menjadi milik Tuhan yang dikuduskan, sehingga jiwa dan pemikiran kita setiap waktu dalam kehidupan sehari-hari  tetap terpelihara dalam kekudusan. Sebab TUHAN ALLAH berfirman “Kuduslah kamu bagiKu, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisah kamu dari bangsa-bangsa lain supaya kamu menjadi milik-Ku !  (Imamat 20 : 26).



MAKNA “DOA BAPA KAMI”, BERKAT DAN DOXOLOGI.

Makna DOA BAPA KAMI

Disebut doa penutup, karena doa ini adalah doa terakhir dalam ibadah dan tidak boleh lagi ada doa yang lain. Itulah sebabnya yang menjadi doa penutup dalam setiap ibadah adalah doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya, yakni “Doa Bapa Kami”.

Agar lebih memahami mengapa kita harus berdoa dengan doa yang diajarkan Tuhan Yesus, kita harus kembali memahami arti dan makna keseluruhan unsur-unsur liturgi yang telah diuraikan secara jelas sekalipun singkat di atas. Bahwa seluruh unsur-unsur liturgi direkat dalam satu kesatuan persekutuan jemaat yang terwujud di dalam menaikkan dan mengaminkan secara bersama “Doa Bapa Kami”.

Ketika menaikkan “Doa Bapa Kami”, berarti kita  secara bersama :
-      Memuji Allah disorga dan memberi tempat baginya berkuasa di bumi.
-      Memohon belas-kasihan Allah untuk memelihara hidup jasmani kita.
-      Mengaku sebagai orang berdosa sekaligus memohon pengampunanNya.

Pada hakikatnya ketika kita berdoa dalam mengakhiri ibadah, Tuhan Yesus sendiri-lah yang mengajak kita untuk berdoa. Karena Dia yang mengajar berdoa, maka doa yang kita serukan adalah doa sebagaimana yang telah diajarkanNya kepada kita.
Tuhan Yesus telah mengajarkan, agar tidak berdoa seperti orang munafik (baca Mat. 6: 5) dan jika kita berdoa, harus dalam suasana teduh. Itulah sebabnya Tuhan Yesus bersabda; “Tetapi jika kamu berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” –Mat. 6: 6--. Makna dari “masuk ke dalam kamar dan tutuplah pintu” adalah agar sebelum dan selama kita berdoa kepada Tuhan Yesus, kita harus dalam keadaan terkonsntrasi penuh dengan menutup rapat “pintu hati” kita terhadap segala bisikan “dunia” yang sering mengganggu kekhusukan kita pada saat berdoa.

Makna Berkat

Sejak semula, Allah telah memberi berkat kepada manusia yang diciptakanNya itu. Bukankah manusia diciptakan setelah segala sesuatu telah tersedia dan  tertata dengan baik? Belum lagi berkat khusus kepada Abram (Abraham) sebagaimana terekam dengan sempurna dalam Kejadian 12:1-9.  Juga, Tuhan berfirman kepada Musa, agar ia memberitahukan kepada Harun dan anak-anaknya agar mereka memberkati orang Israel demikian; “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engaku; TUHAN menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” –Bil. 6: 24-26-. Itulah juga ungkapan berkat TUHAN yang sampai kepada kita setiap mengikuti ibadah Minggu di Gereja Tuhan ini. Apa makna yang sesungguhnya dari berkat itu? Tuhan Allah memberi jawabannya! Maka nama TUHAN “terletak” di dalam  kehidupan kita  (baca Bil. 6: 27). 
Makna Doxology
Doxology, berasal dari kata Doxa” atau “glory atau pujian” dan Logia atau “kata-kata”. Jadi, doxology adalah pujian dan penyembahan atas kehadiran Allah dalam ibadah yang memberi kasih karuniaNya. Doxology juga sering diartikan sebagai “himne” atau nyanyian singkat yang dinyanyikan jemaat Kristen dan merupakan formula ungkapan pujian kepada Tuhan.
Doxology di GKPI adalah nyanyian “Karena Engkau yang empunya Kerajaan, dan Kekuasaan dan Kemuliaan, sampai selama-lamanya, amin..!

 

Kesimpulan dan Rangkuman “unsur-unsur Liturgi”

Sebelum masuk ke dalam satu kesimpulan tentang makna dari unsur-unsur Liturgi, terlebih dahulu kita mengetahui tentang makna “Warta Jemaat” dan “Paduan Suara”.

Warta Jemaat

Warta Jemaat adalah satu-satunya sarana “pewartaan” yang sah di dalam Jemaat dan berisikan pemberitahuan/pewartaan terhadap segala sesuatu aktivitas pelayanan yang telah dilakukan dan yang sedang rencanakan. Warta jemaat selalu bersifat “otentik” dan “mengikat”. Artinya, semua yang diwartakan haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada warga jemaat, terlebih kepada Tuhan Yesus pemilik Gereja itu. Sebaliknya, warga jemaat juga harus turut bertanggungjawab penuh terhadap segala sesuatu yang direncanakan dalam pelayanan Gereja, karena pada hakikatnya semua kita, tanpa kecuali, adalah “pelayan-pelayan” di Gereja Tuhan.

Paduan Suara

Paduan Suara Gereja bukanlah “penyanyi” dalam Gereja untuk “ditonton”. Di GKPI, Paduan Suara berdiri di pihak anggota jemaat, bukan di pihak pelayan Firman.  Hal demikian berarti, apa yang diungkapkan oleh paduan suara merupakan ungkapan dari seluruh anggota jemaat. Lagu-lagu pujian atau penyembahan atau pengucapan syukur atau penyesalan atau pengakuan atau pengharapan yang ditujukan kepada Tuhan Yesus, adalah ungkapan dari seluruh anggota Jemaat. Karena itu, ketika paduan suara menyanyikan sebuah lagu, maka peserta ibadah harus mengikutinya sungguh-sungguh di dalam hatinya masing-masing, bukan malah berbisik-bisik atau melakukan hal-hal lain yang tidak dikehendaki Tuhan Yesus yang Mahahadir itu.

Rangkuman
Dari keseluruhan uraian makna unsur-unsur liturgi, maka dapat kita simpulkan demikian:
1.      Semua kita harus mempersiapkan diri  penuh untuk memasuki ibadah. Jika ada yang datang pada saat “Votum/Introitus/Doa Introitus” berlangsung, hendaknya tidak segera memasuki ruang ibadah sampai tahapan liturgi tersebut selesai.
2.      Setiap ibadah hanya dimulai dan berlangsung demi nama Allah Tritunggal.
3.      Kita harus senantiasa mau mengaku dan menyesali segala dosa dan pemberontakan kita kepada TUHAN dan mohon pengampunan kepadaNya serta selalu bergumul untuk dapat menaklukkan kuasa “si jahat”.
4.      Kita harus meyakini, bahwa Tuhan Mahabaik mendengar suara kita kepadaNya, dan Dia pun tidak pernah membiarkan kita berjalan sendiri tanpa tuntunanNya.
5.      Firman Tuhan yang sampai kepada kita, itulah yang mengubahkan dan membarui hidup kita, sehingga kita menjadi manusia-manuia “baru” di dalam kuasa dan kasih TUHAN.
6.      Ungkapan syukur dan terimakasih kita harus selalu mengalir kepada Tuhan, karena berkat Tuhan juga selalu baru setiap hari yang mengalir kepada kita.
7.      Berkat Tuhan adalah bersifat turuntemurun dan tersempurna bagi kita, asalkan kita mau dengan sungguh-sungguh dan setia melalukan semua yang difirmankanNya kepada kita. ……


Kesimpulan
v  Setiap unsur liturgi disusun merupakan rangkaian suasana “pertemuan” antara umat dengan Tuhan Allah. Dalam pertemuan itu ada dialog dalam bentuk nyanyian, doa-doa dan sikap(berdiri-duduk) dan perbuatan (memberi persembahan). Setiap unsur liturgi sama nilai ilahinya. Tidak ada yang lebih penting atau yang kurang penting. Kesempurnaan Ibadah adalah jika setiap unsur liturgi dijalankan sebagai mestinya.
v  Ketika umat Tuhan bersekutu menghadap Hadirat Allah, dengan menaikkan pujian, pengakuan dan doa-doa dengan cara bernyanyi maupun berkata-kata, maka diperlukan suasana tertib dan teratur sebagai suatu disiplin sikap. Oleh karena itu gereja-gereja, termasuk GKPI, menyusun tata Liturgi untuk penyelenggaraan ibadah. Tata Liturgi GKPI disepakati dan diterima oleh seluruh warga jemaat GKPI, maka setiap warga jemaat wajib memakai Tata Liturgi GKPI dalam ibadah-ibadahnya. 
v  Susunan Liturgi ini bukan dibentuk oleh selera manusia melainkan susunan liturgy tersebut yang membentuk kebutuhan manusia. Sebab susunan liturgy itu secara keseluruhan menunjuk pada perjalanan hidup manusia dengan status terselamatkan. Liturgi ini di sahkan dengan Votum dengan rumusan tritunggal, sebagai symbol permulaan resmi dari ibadah sekaligus sebagai symbol permulaan kehidupan dalam cerita penciptaan, pengesahan itu disambut dengan nyanyian syukur dan pujian atas kehadiran Allah dan karya Allah dalam penciptaan. Sebagaimana dalam awal peciptaan bertujuan dalam rangka karya penyelamatan dan dipanggil beribadah pada hari ketujuh dan proses pembebasan Israeil dari perbudakan adalah dalam rangka memuji Tuhan (beribadah bnd Kel 3: 18), dan setelah penciptaan dan pembebasan dari perbudakan Mesir, Allah langsung menyapa manusia dengan firmanNya untuk membimbing hidup manusia, maka liturgy kita pun diikuti dengan sapaan Tuhan dalam epistle yang berguna untuk membimbing umat agar tetap melaksanakan kehendak Allah. Dan bimbingan itu kemudian direspon dengan nyanyian ucapan syukur. Manusia yang telah mendengar bimbingan Allah melalui Firman tersebut, akhirnya menyadari seluruh dosanya yakni tindakannya yang tidak sesuai dengan kehendak dan bimbingan Allah dan mengakui dan menyesalinya dalam iman dan kerendahan hati di hadapan Allah penciptanya, dan pengakuan dan penyesalan itu direspon Allah dengan janji pengahapusan dosa itu, yang langsung berlaku pada saat janji itu di ucapkan/dibacakan. Itulah sebabnya setelah epistle, dilanjutkan dengan nyanyian dan Pengakuan dosa-janji Tuhan tentang keampunan dosa. Karena janji itu yang berlaku pada saat itu juga maka status manusia yang berdosa itu telah diampuni dan hidup dalam status yang baru, terbebas dari perbudakan dosa, dengan kata lain hidup baru. Kenyataan itu direspon dengan nyanyian syukur dan pujian pada Tuhan. Dalam status hidup yang baru setelah bebas dari perbudakan Mesir-dalam konteks Israel- dan bebas dari perbudakan dosa-dalam konteks kita saat ini- maka Allah memberikan petunjuk hidup baru yakni dasa titah di gunung Sinai, untuk membimbing kehidupan umat supaya tetap dalam statusnya yang baru. Demikian juga dalam ibadah liturgy itu, kita yang sudah hidup dalam status baru kemudian mendengarkan petunjuk hidup baru baik dari dasa titah maupun yang diambil dari Firman Tuhan dalam Alkitab sebagai pengganti dasa titah (hukum Tuhan). Dengan demikian kita yang sudah hidup baru dingatkan kembali dalam ibadah itu untuk tetap mengikuti petunjuk Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya penerimaan hukum Tuhan sebagai petunjuk hidup itu direspon dengan nyanyian pujian dan Pengakuan iman atas kuasa Allah tritunggal dalam pengakuan iman rasuli. Ini penting karena orang yang beriman dari dalam hatinya dan menyesali dosa-dosana serta telah hidup dalam status baru harus mengikrakan imannya supaya ia selamat (bnd Rom 10:9-10. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan) dengan  demikian pengakuan iman menunjukkan kembali bahwa kita adalah orang-orang yang telah diselamatakan dan ini dirayakan kembali dengan nyanyiaan pujian sebagai ucapan syukur atas keselamatan kita serta mempersiapkan diri untuk mendenar kabar baik dalam Pemberitaan firman/Homili/khotbah. Oleh karena itu seluruh rangkaian ibadah hingga doa penutup-berkat adalah rangkaian perjalanan  hidup manusia mulai dari penciptaan-kejatuhan dalam dosa-pembebasan dari perbudakan dosa-sampai pada keselamatan karena karya Kristus yang diberitakan dalam Injil sebagai kabar baik bagi manusia yang percaya maupun yang belum percaya- berita akan kabar baik itu direspon dengan lagu pujian dan persembahan serta ditutup dengan Doa Bapa kami dan berkat untuk memberangkatkan umat kembali kedalam perjalanan hidup sehari hari dalam satu minggu berikutnya. Oleh karena itu juga liturgy ibadah itu tidak dapat diputus atau diacak sesuka hati manusia itu hanya untuk memenuhi seleranya, karena jika ada yang diputus maka proses  penghayatan dan pengucapan syukur atas karya Allah dalam hidup kita mulai dari penciptaan akan terputus, dan itu juga mengacak kehidupan kita sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan dan tentu tidak kita inginkan. Oleh karena itu hayati dan nikmati susunan ibadah itu dengan benar karena itu yang membentuk kebutuhan kita dan memang hal yang kita butuhkan bukan kebutuhan atau selera kita yang membentuk liturgy/ susunan ibadah. Salam
Pdt. Dirgos Lumbantobing/Pdt. R Panggabean


[1] Disadur oleh Pdt. Dirgos Lumbantobing, STh  dari berbagai sumber dan dalam bimbingan Pendeta resort  (Pdt. R. Panggabean, STh) sebagai bahan pembinaan bagi calon penatua di GKPI Pos Kebaktian Bukit Indah 2011

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih Pak Pdt atas artikelnya.
saya tidak tau sebelumnya bahwa liturgi GKPI itu ada makna dan dasarnya.
Sebaiknya materi ini ada dalam pembelajaran kathekisasi sidi.
Terima kasih.

Anonim mengatakan...

Makna arti istilah "votum" masih bingung saya

Unknown mengatakan...

Yang lebih singkat