Selasa, 17 April 2012

GELARKU ODHA




Sungguh Tak pernah terpikir olehku untuk lahir dan, menjalani keadaan seperti saat ini, seandainya ku bisa memilih maka aku akan memilih lahir dalam keluarga sejahtera dan makmur serta dipenuhi kasih sayang, tapi lahir bukanlah pilihan tapi ketentuan Ilahi yang tak terbantahkan, yang menurut khotbah yang kudengar akhir-akhir ini “manusia lahir karena TUHAN punya rencana atas hidup kita oleh karena itu kita ada bukan karena kebetulan”.
Jika saat ini negriku berkubang dengan masalah BBM, Masalah Pilkada, Dampak krisis Ekonomi global dan lain-lain, maka aku yang terpinggir ini mungkin menjadi orang yang paling malang dengan kubangan penyakit dan masa depanku yang seakan sudah tertutup debu hitam nan pekat (paling tidak menurut versi ku). Dua hari lalu dokter memvonis bahwa aku (Yantri yang hampir putus asa) menyandang predikat baru yang tidak diinginkan orang lain, Penyandang gelar ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Sangat miris jika melihat orang d iusia yang sama denganku telah menyandang gelar sarjana yang tentu diburu setiap orang, kini aku justru menyandang gelar yang dihindari bahkan ditakuti orang.
Kemanakah akan ku langkahkan kaki ini?sementara orang tuaku nan jauh disana tidak tahu aku ada dimana dan bagaimana?. Sejenak terbayang olehku senyum manis ibuku disenja biru, tatkala ia dengan penuh kasih mengendongku dan memberiku sesendok bubur tanpa ikan, yang sangat nikmat karena dibubuhi kasih sayang ibu yang mengalir pelan laksana aliran ASI yang ia berikan, dan berhembus pelan laksana angin ditengah terik matahari. Terbayang juga ia memandikan dan memberangkatkanku ke sekolah di seberang desaku yang diramaikan nyanyian pohon dan burung-burung kenari yang melantunkan lagu tiap pagi. Dengan berbekal sepotong ubi pagi hari, yang sangat lezat karena bumbu kasih sayang.
Tapi ku menjadi marah dan mengeram tatkala ku ingat wajah bapakku yang kejam menyesah dan memukulku bagaikan anak kerbau penggarap sawah yang membuat duniaku hitam pekat bagaikan pekatnya filsafat Nietze yang tak kumengerti. Pengalaman pahit yang selalu berulang ini mengantarkanku pada keputusan meninggalkan rumah dan ibu tercinta menuju kehidupan tak tentu arah dengan kebencian yang mendalam pada bapak.
Dua minggu sudah semenjak kutinggalkan rumah, ketika ku bertemu Fahmi teman yang membawaku pada sisi lain kehidupan. Ia mengenalkanku pada kehidupan gelap yang saat itu kulihat sebagai hidup yang penuh kebahagiaan dan kenikmatan ditengah kota besar dan ramai “Jakarta” begitu orang menyebutnya. Ia memberiku “permen” yang membawaku terbang dan melupakan masalahku untuk sesaat, membelai rambutku dan mengajakku ketempat ia berteduh, rumah sederhana disudut kota Jakarta. Bagiku ia adalah malaikat yang sangat peduli pada saat itu yang memberiku makan, membantuku disaat susah dengan permenya yang kuterima dengan gratis, hingga akhirnya Fahmi mewajibkanku mencari duit sendiri untuk makan dan untuk beli “permen” yang telah kugandrungi itu. Jadilah aku menjadi anak jalanan Jakarta yang bekerja dari bus ke bus dengan modal botol aqua berisi pasir yang mengiringi suara serakku.
Hingga bertumbuh dewasa lika-liku kehidupan jalanan kelam menghiasi catatan sejarah hidupku, narkoba, dan seks bebas menjadi kegandrunganku, bahkan pepatah yang berkata tak ada rotan akar pun jadi kumaknai menjadi tak ada ganja, autan (yang kuhisap pengganti ganja) pun jadi. Demikianlah suramnya hidup ini hingga suatu ketika disaat ku tak berdaya, lapar dan gemetaran kuberjumpa dengan orang yang sesungguhnya peduli padaku disudut halte bus, ia menyapaku dengan suara keibuan, dan menopangku kedalam kehidupan ynag sesungguhnya, bebas dari narkoba dan seks bebas.
Saat itu ku berkata padanya, aku sudah bosan hidup kuingin tinggalkan bumi dengan beban berat yang menyesakkan. Tapi dengan lembut ia berkata jika kau bosan hidup maka pengharapannmu telah kaladaluarsa kisanak, sekarang bangunlah pengharapan sebab pengharapan akan membawamu menikmati hidup. Ku terperangah harapan yang kaladaluarsa? Kalimat ini selalu terngiang dalam pikiranku untuk beberapa waktu hingga ku mampu mengerti dan mengikuti arahan Yeni sang penolongku itu. Yeni memperkenalkan aku pada kumpulan anak jalanan yang beribadah setiap minggu dirumahnya dan bergembira memuji Yesus, sejenak ku terbayang pada ibu yang membawaku ke gereja dan bernyanyi bersama sekolah minggu di desaku....kingkong badanya besar tapi aneh kakikanya pendek.... demikian sepenggal lagu yang ku ingat yang kami nyanyikan dengan gerak dipandu guru-guru sekolah minggu. Tanpa terasa air mataku mengalir lembut dipipi, kuterperangah betapa lamanya aku meninggalkan suasana ini hanya karena kebencian dan kesenangan sesaat yang justru membawaku pada kesesakan. Air mata yang awalnya pelan itu makin deras bagaikan hujan yang disertai gemuruh (isaktangisku) yang menjadi jadi, hingga Yeni membawaku ke kamar dan menenangkanku. Sesaat ia membiarkanku menangis sepuasnya hingga ku berhenti menangis dan menatap dia selalu ada di sampingku. Ku layankan padangan kejendela dan bertanya padanya, kenapa kau mau menolongku dan menungguiku? Karena kau saudaraku dalam Yesus yang sudah terlebih dahulu menolongku jawabnya singkat. Kemudian kumulai menceritakan masa laluku padanya yang membawaku kembali pada tangisan penyesalan yang mendalam, Ku benci bapakku teriakku sembari memukul meja yang ada didepanku, kubenci-benciiiiiiiii. Kemudian kudenngar Yeni bernyanyi “mengampuni-mengampuni lebih Sungguh, Tuhan lebih dulu mengampuni kepadamu mengampuni mengampuni lebih sungguh”, ia mendekapku dan membelai rambutku, sementara ku menagis sembari berkata aku tak bisa mengampuninya disela-sela tangisku, kembali ia berkata kau harus mengampuninya dan berdamai dengan masa lalumu supaya hidupmu bebas oleh belenggu kebencian yang telah mengekangmu sekian lama hingga membuat catatan kelam dalam hidupmu. Ia kembali bernyanyi dan entah karena apa aku turut serta bernyayi hingga ku tertidur.
Itulah awalnya ku kembali menjadi diriku yang dulu digendong ibuku, yang penuh dengan keceriaan dan bumbu kasih sayang.Hidup ku kini baru, kumulai turut serta dengan Yeni dalam persekutuan-persekutuan doa yang semakin menguatkanku untuk mengampuni bapak yang menorehkan luka kelam itu, aku mengasihinya saat ini menyesali seluruh perilakuku sebelumnya dan menyerahkkanya pada pengasihan dan pengampunan Yesus menuju kehidupan yang baru dibawah kasih-Nya.
Demikianlah aku hidup bersama Yeni penuh dengan kelegaan dan kegembiraaan hingga suatu saat kujatuh sakit. Selama seminggu ku dirawat Yeni dan kawan-kawannya dirumah persekutuan itu. Hingga analisa dokter membuat dunia kelam yang selama ini ku gandrungi bertepuk riang mendengar pengukuhannku sebagai penyandang gelar baru “ODHA”.Dunia runtuh disertai gemuruh halilintar dan hentakan gempa bumi membuatku terperosok pada suasana mencekam dan tertekan. Tanggal 1 Desember 2008 menjadi hari pertama bagiku turut serta memperingati hari ADIS sedunia, dengan predikat penyandang.
            Kini apa yang kulakukan?Kuhanya berharap pada Kuasa Yesus yang menyembuhkan semua orang yang datang padanya. Ku takkan putus asa karena Yesus bersamaku, Dan ia dapat menolong orang yang menurut pikiran manusia tidak tertolong lagi. Sekarang sebagai seorang perempuan aku akan bangkit dan turut serta merakayakan tahun perempuan di gerejaKU, Keadaanku saaat ini akan kugunakan sebagai bahan pelajaran serta mnegingatkan rekan-rekan perempuan lainya, untuk bangkit dari keterpurukan dan menjauhi dunia kelam. Semoga doa saudara-saudaraku dipersekutuan ini membawaku pada realita hidup yang menjadi dambaaanku kini, melepaskan gelar ODHA sembari berharap saudara-saudariku yang masih terbelenggu dalam dunia kelam beretobat dan kembali pada Bapa. DLT/PS

Tidak ada komentar: