Sungguh Tak pernah terpikir olehku untuk lahir dan,
menjalani keadaan seperti saat ini, seandainya ku bisa memilih maka aku akan
memilih lahir dalam keluarga sejahtera dan makmur serta dipenuhi kasih sayang,
tapi lahir bukanlah pilihan tapi ketentuan Ilahi yang tak terbantahkan, yang
menurut khotbah yang kudengar akhir-akhir ini “manusia lahir karena TUHAN punya
rencana atas hidup kita oleh karena itu kita ada bukan karena kebetulan”.
Jika saat ini negriku berkubang dengan masalah BBM, Masalah Pilkada, Dampak
krisis Ekonomi global dan lain-lain, maka aku yang terpinggir ini mungkin
menjadi orang yang paling malang dengan kubangan penyakit dan masa depanku yang
seakan sudah tertutup debu hitam nan pekat (paling tidak menurut versi ku). Dua
hari lalu dokter memvonis bahwa aku (Yantri yang hampir putus asa) menyandang
predikat baru yang tidak diinginkan orang lain, Penyandang gelar ODHA (Orang
Dengan HIV AIDS). Sangat miris jika melihat orang d iusia yang sama denganku
telah menyandang gelar sarjana yang tentu diburu setiap orang, kini aku justru
menyandang gelar yang dihindari bahkan ditakuti orang.
Kemanakah akan ku langkahkan kaki ini?sementara orang tuaku nan jauh disana
tidak tahu aku ada dimana dan bagaimana?. Sejenak terbayang olehku senyum manis
ibuku disenja biru, tatkala ia dengan penuh kasih mengendongku dan memberiku
sesendok bubur tanpa ikan, yang sangat nikmat karena dibubuhi kasih sayang ibu
yang mengalir pelan laksana aliran ASI yang ia berikan, dan berhembus pelan
laksana angin ditengah terik matahari. Terbayang juga ia memandikan dan
memberangkatkanku ke sekolah di seberang desaku yang diramaikan nyanyian pohon
dan burung-burung kenari yang melantunkan lagu tiap pagi. Dengan berbekal
sepotong ubi pagi hari, yang sangat lezat karena bumbu kasih sayang.
Tapi ku menjadi marah dan mengeram tatkala ku
ingat wajah bapakku yang kejam menyesah dan memukulku bagaikan anak kerbau
penggarap sawah yang membuat duniaku hitam pekat bagaikan pekatnya filsafat
Nietze yang tak kumengerti. Pengalaman pahit yang selalu berulang ini mengantarkanku
pada keputusan meninggalkan rumah dan ibu tercinta menuju kehidupan tak tentu
arah dengan kebencian yang mendalam pada bapak.
Dua minggu sudah semenjak kutinggalkan rumah,
ketika ku bertemu Fahmi teman yang membawaku pada sisi lain kehidupan. Ia
mengenalkanku pada kehidupan gelap yang saat itu kulihat sebagai hidup yang
penuh kebahagiaan dan kenikmatan ditengah kota besar dan ramai “Jakarta” begitu
orang menyebutnya. Ia memberiku “permen” yang membawaku terbang dan melupakan
masalahku untuk sesaat, membelai rambutku dan mengajakku ketempat ia berteduh,
rumah sederhana disudut kota Jakarta. Bagiku ia adalah malaikat yang sangat
peduli pada saat itu yang memberiku makan, membantuku disaat susah dengan
permenya yang kuterima dengan gratis, hingga akhirnya Fahmi mewajibkanku
mencari duit sendiri untuk makan dan untuk beli “permen” yang telah kugandrungi
itu. Jadilah aku menjadi anak jalanan Jakarta yang bekerja dari bus ke bus
dengan modal botol aqua berisi pasir yang mengiringi suara serakku.
Hingga bertumbuh dewasa lika-liku kehidupan
jalanan kelam menghiasi catatan sejarah hidupku, narkoba, dan seks bebas
menjadi kegandrunganku, bahkan pepatah yang berkata tak ada rotan akar pun jadi
kumaknai menjadi tak ada ganja, autan (yang kuhisap pengganti ganja) pun jadi. Demikianlah
suramnya hidup ini hingga suatu ketika disaat ku tak berdaya, lapar dan
gemetaran kuberjumpa dengan orang yang sesungguhnya peduli padaku disudut halte
bus, ia menyapaku dengan suara keibuan, dan menopangku kedalam kehidupan ynag
sesungguhnya, bebas dari narkoba dan seks bebas.
Saat itu ku berkata padanya, aku sudah bosan hidup kuingin tinggalkan bumi
dengan beban berat yang menyesakkan. Tapi dengan lembut ia berkata jika kau
bosan hidup maka pengharapannmu telah kaladaluarsa kisanak, sekarang bangunlah
pengharapan sebab pengharapan akan membawamu menikmati hidup. Ku terperangah harapan yang kaladaluarsa?
Kalimat ini selalu terngiang dalam pikiranku untuk beberapa waktu hingga ku
mampu mengerti dan mengikuti arahan Yeni sang penolongku itu. Yeni
memperkenalkan aku pada kumpulan anak jalanan yang beribadah setiap minggu
dirumahnya dan bergembira memuji Yesus, sejenak ku terbayang pada ibu yang
membawaku ke gereja dan bernyanyi bersama sekolah minggu di desaku....kingkong badanya besar tapi aneh kakikanya
pendek.... demikian sepenggal lagu yang ku ingat yang kami nyanyikan dengan
gerak dipandu guru-guru sekolah minggu. Tanpa terasa air mataku mengalir lembut
dipipi, kuterperangah betapa lamanya aku meninggalkan suasana ini hanya karena
kebencian dan kesenangan sesaat yang justru membawaku pada kesesakan. Air mata
yang awalnya pelan itu makin deras bagaikan hujan yang disertai gemuruh
(isaktangisku) yang menjadi jadi, hingga Yeni membawaku ke kamar dan menenangkanku.
Sesaat ia membiarkanku menangis sepuasnya hingga ku berhenti menangis dan
menatap dia selalu ada di sampingku. Ku layankan padangan kejendela dan
bertanya padanya, kenapa kau mau menolongku dan menungguiku? Karena kau
saudaraku dalam Yesus yang sudah terlebih dahulu menolongku jawabnya singkat.
Kemudian kumulai menceritakan masa laluku padanya yang membawaku kembali pada
tangisan penyesalan yang mendalam, Ku benci bapakku teriakku sembari memukul
meja yang ada didepanku, kubenci-benciiiiiiiii. Kemudian kudenngar Yeni
bernyanyi “mengampuni-mengampuni lebih
Sungguh, Tuhan lebih dulu mengampuni kepadamu mengampuni mengampuni lebih
sungguh”, ia mendekapku dan membelai rambutku, sementara ku menagis sembari
berkata aku tak bisa mengampuninya disela-sela tangisku, kembali ia berkata kau
harus mengampuninya dan berdamai dengan masa lalumu supaya hidupmu bebas oleh
belenggu kebencian yang telah mengekangmu sekian lama hingga membuat catatan
kelam dalam hidupmu. Ia kembali bernyanyi dan entah karena apa aku turut serta
bernyayi hingga ku tertidur.
Itulah awalnya ku kembali menjadi diriku yang dulu digendong ibuku, yang
penuh dengan keceriaan dan bumbu kasih sayang.Hidup ku kini baru, kumulai turut
serta dengan Yeni dalam persekutuan-persekutuan doa yang semakin menguatkanku
untuk mengampuni bapak yang menorehkan luka kelam itu, aku mengasihinya saat
ini menyesali seluruh perilakuku sebelumnya dan menyerahkkanya pada pengasihan
dan pengampunan Yesus menuju kehidupan yang baru dibawah kasih-Nya.
Demikianlah aku hidup bersama Yeni penuh dengan kelegaan dan kegembiraaan
hingga suatu saat kujatuh sakit. Selama seminggu ku dirawat Yeni dan
kawan-kawannya dirumah persekutuan itu. Hingga analisa dokter membuat dunia
kelam yang selama ini ku gandrungi bertepuk riang mendengar pengukuhannku
sebagai penyandang gelar baru “ODHA”.Dunia runtuh disertai gemuruh halilintar
dan hentakan gempa bumi membuatku terperosok pada suasana mencekam dan
tertekan. Tanggal 1 Desember 2008 menjadi hari pertama bagiku turut serta
memperingati hari ADIS sedunia, dengan predikat penyandang.
Kini apa yang
kulakukan?Kuhanya berharap pada Kuasa Yesus yang menyembuhkan semua orang yang
datang padanya. Ku takkan putus asa karena Yesus bersamaku, Dan ia dapat
menolong orang yang menurut pikiran manusia tidak tertolong lagi. Sekarang
sebagai seorang perempuan aku akan bangkit dan turut serta merakayakan tahun
perempuan di gerejaKU, Keadaanku saaat ini akan kugunakan sebagai bahan
pelajaran serta mnegingatkan rekan-rekan perempuan lainya, untuk bangkit dari
keterpurukan dan menjauhi dunia kelam. Semoga doa saudara-saudaraku
dipersekutuan ini membawaku pada realita hidup yang menjadi dambaaanku kini,
melepaskan gelar ODHA sembari berharap saudara-saudariku yang masih terbelenggu
dalam dunia kelam beretobat dan kembali pada Bapa. DLT/PS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar